RSS

2.3.a.8. Koneksi Antarmateri - Modul 2.3 -

Sukabumi, 15 Desember 2023.

Menantang!

Itu yang saya pikirkan saat menerima materi ini. Kenapa? Karena di satu sisi, sayapun merasa masih memiliki banyak sekali hal yang harus diperbaiki dalam hal mengajar. Namun, setelah membaca keseluruhan materi yang sangat rinci dan sistematis, saya menemukan bahwa supervisi dengan metode coaching adalah hal yang masih jarang dilakukan. Sementara ini yang sering dilakukan adalah menilai, mengevaluasi, dengan kesan mencari kesalahan, tanpa memberikan peluang bagi guru (supervisee) untuk mengembangkan hal yang kurang tersebut, dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya. 

Sehubungan dengan peran saya sebagai seorang coach di sekolah, khususnya di Program Keahlian Usaha Perjalanan Wisata (UPW), dengan 2 (dua) anggota tim yang masih muda, dan masih terbatas pengalamannya dalam mengajar, terutama juga dikarenakan bukan berasal dari lulusan universitas/sekolah tinggi jurusan kependidikan, tentu saja sedikit banyak memiliki kendala dalam kegiatan proses pembelajaran, sehingga proses coaching ini sangat membantu mereka untuk mencari solusi atas kesulitan mereka di kelas, dengan memaksimalkan potensi dan kekuatan yang mereka punya. Dalam hal ini, biasanya mereka mengeluh mengenai metode pembelajaran, terutama dengan beragam karakter siswa yang harus dihadapi. 

Kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi, kami sering berdiskusi mengenai tipe belajar dan kebutuhan belajar murid di kelas, salah satunya dalam mengklasifikasikan profil belajar murid di UPW. Begitupun dengan pembelajaran sosial dan emosi, meskipun pada dasarnya, pendekatan sosial dan emosi yang sudah dilakukan saat ini cukup bagus, bahkan merupakan potensi dan kekuatan mereka (tim saya), karena mereka masih muda, yang lebih mudah diterima oleh murid, sebagai kaum milenial. Oleh karena itu, saya dengan keterampilan coaching, saya dapat menggali hal-hal yang akan mereka lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan belajar murid di kelasnya. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat menggali potensi mereka, saya juga pastikan untuk dapat menggali hal-hal yang harus mereka kembangkan, agar mampu mengayomi murid di kelas. Saya percaya bahwa justru karena mereka masih  muda, maka kemampuan mereka sangat potensial, dan hanya perlu dikuatkan saja, mengenai hal-hal yang dirasa belum maksimal.  

Sebagai refleksi terhadap materi yang saya peroleh, jujur saja, saya cukup tertantang, karena hal ini merupakan hal yang baru bagi saya, dimana saya dituntut untuk bisa menstimulasi supervisee untuk dapat mengungkapkan kendala mereka, serta mendapatkan ide-ide dari hasil interview yang dilakukan. Apalagi saya juga merasa masih memiliki banyak kekurangan dalam proses pembelajaran yang saya lakukan, sehingga merasa tidak berhak untuk memberikan saran atau lainnya kepada rekan saya. Namun, dengan paradigma berpikir coaching yang berfokus pada coachee, bersikap terbuka dan ingin tahu lebih banyak, harus memiliki kesadaran diri yang kuat, dan membantu coachee untuk melihat peluang baru, memberikan saya kekuatan untuk bisa mendalami peran sebagai coachee, meskipun di awal-awal sering terjebak dengan kebiasaan seorang guru yang lebih banyak memberikan mentoring atau training. Dalam hal ini, coach memang dituntut untuk lebih sabar dalam menggali potensi coachee, agar segala ide yang akan diterapkan, adalah hasil dari pemikiran coachee sendiri, yang dibantu oleh coach dalam pemetaannya, sehingga coachee lebih mudah dalam menata peluang-peluang maupun solusi yang akan dilakukannya. 

Beberapa kompetensi coaching juga sangat menguras pikiran dan sangat menantang, dimana seorang coach dituntut untuk dapat memiliki kemampuan kehadiran penuh (presence) dan fokus saat melakukan coaching, begitupun dengan kompetensi mendengarkan aktif , dimana seorang coaching harus mampu menyimak dan memberikan respon yang positif terhadap hal-hal yang disampaikan oleh coachee. Selain itu, kompetensi mengajukan pertanyaan berbobot juga tidak kalah menantangnya, dimana seorang coach harus mampu menggali ide-ide coachee, peka terhadap celah yang dapat menjadi kekuatan dan kompetensi seorang coachee, dan mampu menggunakannya bagi perkembangan coachee.  

Dalam proses mengajukan pertanyaan berbobot, saya harus mampu memberikan pertanyaan yang bisa terus menggali kemampuan coachee, memberdayakan potensinya. Bagian ini yang menurut saya paling sulit, karena kita harus dapat menyelami kendala yang mereka miliki, mengikuti ke mana arah proses coaching berjalan. Dengan kesulitan saya ini, hal yang bisa saya lakukan untuk dapat mengatasinya tentu saja dengan benar-benar menyimak arah pembicaraan coachee, berusaha menempatkan diri pada posisinya, dan memperkirakan pertanyaan-pertanyaan apa yang biasanya sulit dimengerti. 

Untuk bisa mendapatkan pertanyaan yang berbobot, saya harus dapat mendengar dengan RASA, yaitu 1) Receive; 2) Appreciate; 3) Summarize; dan 4) Ask, dimana poin-poin ini menjadi panduan dalam menentukan pertanyaan apa saja yang dapat saya ajukan. Pada poin Receive, saya harus dapat memperhatikan pembicaraannya, menyimak, menerima semua ucapannya, dan dengarkan kata kunci yang disampaikannya. Setelah itu, poin Appreciate dilakukan dengan cara memberikan sinyal saat mendengarkan, seperti mengangguk-angguk tanda mengerti, memberikan komentar positif, menjaga kontak mata, memberikan respon "ok, iya, hmm..", dan sebagainya. Selanjutnya poin Summarize, dilakukan dengan merangkum apa yang saya tangkap dari hal-hal yang disampaikan oleh coachee, memilih keyword yang tepat, sehingga dapat memastikan bahwa ada beberapa poin penting dalam percakapan yang dilakukan. Tahap akhir adalah Ask, dengan cara mengajukan pertanyaan berdasarkan summarizing, mengajukan pertanyaan yang membuat coachee paham mengenai situasi yang dihadapi, dan merupakan hasil mendengarkan dan menggali keywords atau emosi yang sudah dikonfirmasi, bukan berdasarkan asumsi, judgment, ataupun asosiasi dengan pengalaman pribadi. 

Sebetulnya, kehadiran penuh (presence) juga merupakan kompetensi yang menantang, apalagi jika terdistraksi oleh pesan/telpon penting, sehingga biasanya saya akan menjauhkan letak HP dari jangkauan saya, dan berusaha mencatat apa yang dikatakan oleh coachee, sehingga saat saya mengajukan pertanyaan, saya ajukan berdasarkan hal-hal yang disampaikan oleh coachee, sebagai bentuk mendengarkan dengan rasa. 

Yang terpenting dari proses coaching untuk supervisi adalah menerapkan prinsip-prinsipnya, yaitu pertama, berprinsip kemitraan. Hal ini penting, karena dengan menempatkan 2 (dua) pihak dalam posisi sejajar, coachee akan merasa lebih nyaman, dan tidak dihakimi. Yang kedua adalah membangun percakapan yang kreatif, yang mampu memetakan ide dan peluang-peluang baru yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan oleh coachee, namun karena dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan berbobot yang diajukan oleh coach, akhirnya coachee mendapatkan solusinya sendiri. Dan yang tidak kalah penting adalah solusi tersebut berdasar pada kemampuan coachee sendiri, sehingga mampu memaksimalkan potensi dirinya, yang kemudian dikuatkan oleh coach. 

Setelah mempelajari modul 2.3 mengenai Coaching untuk Supervisi Akademik, saya merasakan banyak perubahan, di mana saat dulu mendengar kata supervisi, maka yang terbayang adalah penilaian satu arah, mendapatkan kritik dan saran untuk mengajar, bahkan seringkali kita menolak untuk disupervisi, karena takut salah, dan lain sebagainya. Namun, dengan Supervisi dengan Metode Coaching, saya merasa bahwa saya akan mendapatkan saran terbaik untuk saya terapkan di kelas saya, mendapatkan ide baru yang akan memberikan layanan pendidikan terbaik bagi murid saya. Selain itu, sebagai coach bagi murid saya, saya tentu saja akan menganggap ini adalah paradigma baru yang harus saya terapkan, sebagai pamong, penuntun bagi murid saya, saya harus mampu memaksimalkan setiap potensi murid, melayani sesuai kebutuhan belajarnya, atas motivasi intrinsik mereka sendiri, bukan karena paksaan, untuk kesuksesan dan kebahagiaan mereka di masa depan. 

Berikut ini adalah beberapa proses coaching yang dilakukan dengan rekan sejawat dan murid, baik tentang proses pembelajaran (supervisi pendidikan), maupun hal lainnya yang perlu didiskusikan dalam rangka melayani kebutuhan belajar murid. 

1. Proses Coaching dengan murid 













2. Proses Coaching dengan Rekan Sejawat





Terakhir, refleksi saya mengenai modul 2.3 ini adalah bahwa saya harus lebih mampu menerapkan prinsip-prinsip coaching ini dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, berusaha untuk mengimbaskannya kepada rekan-rekan saya, juga melatih kemampuan saya untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip coaching ini sebagai cara untuk mewujudkan nilai dan peran guru penggerak di sekolah yang berpihak pada murid.   

InsyaAlloh, semoga Alloh SWT mudahkan yaa..
Terima kasih sudah membaca artikel saya ini, semoga bermanfaat!
Salam dan Bahagia!




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar